WEBINAR INTERNASIONAL : Artificial Intelligence and Ethics

WEBINAR INTERNASIONAL : Artificial Intelligence and Ethics

Universitas STEKOM, Indonesia – Seminar Internasional bertajuk “Artificial Intelligence (AI) and Ethics” mempertemukan sejumlah pembicara Internasional untuk membahas lebih dalam mengenai pertimbangan etika dalam penggunaan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Pembicara Seminar :

1.      Ali Muhammedli (Senior Lecturer at Dept of Information Technologies) WCU, Azerbaijan

2.      Olena Parshyna (PhD in Economic Sciences, Assoc Prof of International Economic Relations & Regional Studies Dept) UMCF, Ukraine

3.      Edy Jogatama Purhita, M.Ds. (Head of Communication Visual Design Dept) STEKOM, Indonesia

Pembukaan Seminar : Dr. Joseph Teguh Santoso (Rector STEKOM University) Indonesia

Pembawa Acara : Anggi Novita Sari (International Affairs) STEKOM, Indonesia

Tanggal Pelaksanaan : Selasa, 12 Desember 2023 pukul 14.00 - 16.00 (Waktu Indonesia)

 

Dalam seminar ini, Ali Muhammedli (Senior Lecturer at Dept of Information Technologies) WCU, Azerbaijan menjelaskan mengenai The Ethics of Artificial Intelligence (Etika Kecerdasan Buatan). Saat ini, AI menjadi hal penting dan terintegrasi dalam kehidupan kita sehari-hari, menandakan mesin yang dapat berpikir dan belajar seperti manusia. Al juga dapat kita temui di mana-mana, mulai dari asisten virtual yang terdapat di ponsel pintar kita hingga algoritme yang merekomendasikan apa yang harus kami tonton selanjutnya. Hal ini tentu akan mengubah cara kita hidup, bekerja dan bermain, menawarkan manfaat yang luar biasa. Tetapi dengan kekuatan besar datanglah tanggung jawab yang besar pula.

AI merupakan sebuah evolusi. Perjalanan Al adalah kisah kecerdikan manusia. Berawal dari program komputer sederhana dan telah berkembang menjadi sistem kompleks yang dapat belajar dan membuat keputusan. Awal resmi kecerdasan buatan (AI) dimulai pada tahun 1956. Pada saat itu meskipun AI mencapai beberapa keberhasilan besar, namun mesin AI masih dianggap perlu dilakukan pengujian dalam banyak hal. Tahun 2018, mulai menghasilkan kemajuan yang dramatis.

Dalam pemaparannya Ali Muhammedli menyampaikan bahwa potensi manfaat ekonomi dan sosial dari AI sangat besar. Namun, terlepas dari itu semua dampak signifikan AI terhadap perkembangan kehidupan manusia menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai etika AI. Kita juga harus memikirkan landasan etika dalam AI karena ini tidak kalah penting. Etika dalam kecerdasan buatan (AI) adalah tentang memastikan sistem ini adil, transparan dan akuntabel. Menurut Ali Muhammedli transparansi privasi data adalah salah satu kekhawatiran utama terkait etika kecerdasan buatan (AI). Kekhawatiran jangka pendek mencakup dampak AI terhadap pekerjaan, ekonomi dan masyarakat. Kekhawatiran jangka panjang adalah kemungkinan sistem AI mencapai kecerdasan super.

Lebih lanjut, Ali Muhammedli menjelaskan mengenai otomatisasi AI dan masa depan pekerjaan. Apa yang kita saksikan saat ini adalah bahwa mesin AI semakin melengkapi kebutuhan manusia di tempat kerja. Dan mewajibkan manusia menyesuaikan diri agar dapat membaca manfaatnya. AI mampu merangkum tugas-tugas mulai dari menyortir email hingga mengemudikan mobil. Hal ini masuk akal dan efisien, tetapi juga memunculkan kekhawatiran tentang pekerjaan kita yang akan diambil oleh robot.

Oleh karena itu, Ali Muhammedli menyarankan bahwa teknologi AI harus diatur untuk meminimalkan risiko terhadap hak asasi manusia para penggunanya. Namun, peraturan harus didekati dengan cara yang masuk akal agar tidak menghambat penggunaan teknologi ini. Masa depan etika kecerdasan buatan (AI) juga akan ditentukan oleh seberapa baik pengembang menangani masalah keadilan, transparansi, akuntabilitas dan potensi konsekuensi AI yang tidak diinginkan serta implikasi etis dari penggunaannya. Selain itu, pemerintah harus membuat kebijakan dan pedoman untuk memastikan bahwa AI digunakan secara bertanggung jawab sekaligus memungkinkan inovasi dan kemajuan.

Ali Muhammedli berpesan bahwa untuk bersiap menghadapi masa depan yang didominasi oleh teknologi AI, kita sebagai manusia perlu menyesuaikan keterampilan kita untuk bersaing dengan sistem AI. Kita harus mengembangkan keahlian dan bidang yang melengkapi kecerdasan misi dan pemikiran kritis, kreatif serta empati. Selain itu, pendekatan yang efektif diperlukan untuk mengembangkan pemahaman mendalam tentang cara kerja kecerdasan buatan (AI). Dengan memiliki pengetahuan dasar tentang prinsip di balik algoritme AI kita dapat lebih mengapresiasi potensinya dan membuat keputusan informal mengenai penerapannya.

Ali Muhammedli menyimpulkan bahwa AI adalah alat dengan potensi sangat besar, tetapi cara kita menggunakannya juga penting. Selagi kita menggunakan AI, maka gunakanlah dengan cara yang beretika, adil dan bertanggung jawab. Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa manfaat kecerdasan buatan (AI) dapat dirasakan oleh semua orang.

Selanjutnya, Olena Parshyna (PhD in Economic Sciences, Assoc Prof of International Economic Relations & Regional Studies Dept) UMCF, Ukraina menjelaskan mengenai Artificial Intelligence and Ethics. Kecerdasan buatan (Al) adalah kecerdasan yang ditunjukkan oleh komputer, berlawanan dengan kecerdasan manusia atau hewan. Sistem komputer adalah komputer yang secara nominal lengkap yang mencakup perangkat keras, sistem operasi (perangkat lunak utama) dan peralatan periferal yang diperlukan dan digunakan untuk pengoperasian penuh.

Olena Parshyna menyampaikan bahwa etika atau filsafat moral merupakan cabang filsafat yang melibatkan sistematisasi, pembelaan dan rekomendasi konsep perilaku benar dan salah. Filsafat adalah studi sistematis tentang pertanyaan umum dan mendasar mengenai topik-topik seperti keberadaan, nalar, pengetahuan, nilai, pikiran dan bahasa. Sebuah konsep didefinisikan sebagai ide abstrak. Konsep secara teratur diformalkan dalam matematika, ilmu komputer, basis data dan kecerdasan buatan (AI).

Olena Parshyna juga berbicara tentang masalah kecerdasan buatan dan masalah etika. Dalam mengambil keputusan untuk masalah ini, kita perlu menganalisis situasi dengan menggunakan ilmuwan yang profesional di bidangnya dan kita juga perlu membentuk sistem kendali untuk bidang ini dan menganalisis pengambilan keputusan yang dapat kita bentuk dengan menggunakan aplikasi yang berbeda, selain itu kita juga perlu menganalisis aturan dan praktik program etis. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hal pertama yang dapat kita katakan tentang kecerdasan etis adalah kecerdasan yang ditunjukkan oleh komputer. Selanjutnya, jika kita dapat menganalisis informasi yang berbeda dan mengirimkan informasi dalam sumber intelijen menggunakan komponen dari aplikasi yang berbeda, maka kita dapat dikatakan telah melakukan proses pengembangan dalam kecerdasan buatan.

Olena Parshyna mengatakan bahwa kita dapat memanfaatkan bagian dari proses pengembangan Artificial Intelligence (AI) tetapi kita tidak bisa berhenti melakukan proses pembuatan berbagai mesin, software dan aplikasi. Di sisi lain, persoalan etika Artificial Intelligence (AI) sangatlah penting. Kita dapat menggunakan ini untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip moral dimasukkan ke dalam pengembangan Artificial Intelligence (AI).

Selanjutnya, dalam pemaparan narasumber Edy Jogatama Purhita, M.Ds. (Head of Communication Visual Design Dept) STEKOM, Indonesia menjelaskan tentang Artificial Intelligence (AI) and Ethics. Artificial Intelligence (Al) dan etika merupakan dua konsep yang saling terkait dalam konteks pengembangan dan penerapan teknologi. Etika adalah studi tentang prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mengatur perilaku manusia, sedangkan Al adalah bidang ilmu komputer yang berfokus pada pengembangan sistem yang dapat melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia.

Pertimbangan etika dalam penggunaan AI dapat dianalisis melalui tiga perspektif utama yang mencerminkan pendekatan etika yang berbeda, yaitu deontological ethics, teleological ethics, dan situational and condition ethics. Etika Deontologi adalah teori etika yang menggunakan aturan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Deontologi sering dikaitkan dengan filsuf Immanuel Kant. Kant percaya bahwa tindakan etis mengikuti hukum moral universal, seperti Jangan berbohong. Jangan mencuri. Jangan curang. Deontologi mudah diterapkan. Ini hanya mengharuskan orang untuk mengikuti aturan dan menjalankan kewajiban mereka. Pendekatan ini cenderung sesuai dengan intuisi alami kita tentang apa yang etis atau tidak etis. Dalam deontologi, keputusan etis tidak hanya didasarkan pada konsekuensi atau hasil tindakan, tetapi pada kepatuhan terhadap aturan dan kewajiban moral yang ada. Jadi, jika suatu tindakan sesuai dengan aturan moral, maka tindakan tersebut dianggap etis menurut deontologi, terlepas dari hasil akhirnya. Etika deontologi berkaitan dengan landasan moral dan normatif yang berlaku. Dalam konteks penggunaan Al, pendekatan ini menekankan prinsip-prinsip etika yang mendasar, seperti keadilan, privasi dan transparansi. Pengembangan dan implementasi Al harus diselaraskan dengan nilai-nilai fundamental tersebut untuk memastikan bahwa teknologi ini memberikan manfaat positif bagi masyarakat dan tidak melanggar prinsip moral yang diakui.

Selanjutnya, etika teleologis merupakan standar dasar penerapan kontribusi suatu tindakan terhadap pencapaian sesuatu yang non-moral. Nilai-nilai selanjutnya dalam konteks etika teleologis menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan dampak positif atau nilai positifnya. Akibatnya tindakan tersebut tidak didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang dianut pada saat tindakan itu dilakukan. Pendekatan ini berpendapat bahwa hasil akhir suatu tindakan merupakan faktor penentu pikiran untuk menilai baik atau buruknya tindakan tersebut secara etis. Dalam konteks penggunaan Al, etika teleologis mempertimbangkan dampak jangka panjang dari penggunaan teknologi tersebut. Pertimbangannya mencakup apakah AI dapat memberikan manfaat yang signifikan, mencapai tujuan positif dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Selanjutnya etika situasional mengacu pada pandangan tidak etis yang mempertimbangkan situasi atau kondisi tertentu dan menentukan benar atau salahnya suatu tindakan meskipun sering dikaitkan dengan realisme di mana nilai-nilai etika dianggap relatif dan dapat berbeda-beda tergantung situasi. Dengan kata lain, meskipun etika situasional mengakui pengaruh situasi terhadap penilaian etis, pendekatan ini juga membuka pintu terhadap beberapa unsur moral yang dianggap mutlak atau tetap yang tidak sepenuhnya bergantung dengan menggabungkan unsur-unsur pendekatan etika situasional yang diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih seimbang antara pandangan absolutisme dan relativisme.

Dalam konteks penggunaan AI, etika situasional dan kondisional mempertimbangkan situasi atau pengkondisian khusus yang mungkin timbul dalam penggunaan AI, terutama dalam situasi abnormal atau darurat. Hal ini menjadi masukan pertimbangan etis ketika AI dihadapkan pada keputusan-keputusan penting dalam situasi yang kompleks atau darurat dimana nilai-nilai etika mungkin dihadapkan pada tantangan tertentu. Selanjutnya etika dalam pengembangan dan penggunaan AI memerlukan pendekatan khusus yang menggabungkan aspek deontologis, teleologis dan situasional ini. Hal ini berguna untuk memastikan bahwa AI tidak hanya beroperasi sesuai dengan prinsip moral dasar tetapi juga mencapai tujuan positif jangka panjang sekaligus mampu beradaptasi secara potensial.



950